Bersiwak
 (membersihkan mulut dengan kayu dari pohon araak) merupakan perbuatan 
yang sangat disukai oleh Rasulullah n.  Ada beberapa waktu yang sangat 
dianjurkan oleh syariat untuk kita bersiwak. Bila kita mampu menjalankan
 ajaran Rasulullah ini n, tidak hanya mulut kita yang menjadi bersih, 
namun pahala dan keridhaan Allah pun insya Allah bisa kita raih.
Kata siwak bukan lagi sesuatu yang asing di tengah sebagian kaum 
muslimin, meskipun sebagian orang awam tidak mengetahuinya disebabkan 
ketidaktahuan mereka tentang agama. Wallahul musta’an.
Pengertian siwak sendiri bisa kembali pada dua perkara:
Pertama, bermakna alat yaitu kayu/ranting yang digunakan untuk menggosok
 mulut guna membersihkannya dari kotoran. Asalnya adalah kayu dari pohon
 araak.
Kedua, bermakna fi’il atau perbuatan yaitu menggosok gigi dengan kayu 
siwak atau semisalnya untuk menghilangkan warna kuning yang menempel 
pada gigi dan menghilangkan kotoran, sehingga mulut menjadi bersih dan 
diperoleh pahala dengannya (Fathul Bari 1/462, Al-Minhaj Syarhu Shahih 
Muslim 3/135, Subulus Salam 1/63, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam,
 1/62).
Dengan demikian, disenangi bersiwak dengan kayu siwak dari araak atau 
dengan apa saja yang bisa menghilangkan perubahan bau mulut, seperti 
membersihkan gigi dengan kain perca atau sikat gigi. (Nailul Authar, 
1/154)
Namun tentunya bersiwak dengan menggunakan kayu siwak lebih utama. 
Karena, hal itulah yang dilakukan oleh Rasulullah n dan ditunjukkan 
dalam hadits-hadits yang berbicara tentang siwak.
Hukum bersiwak ini sunnah –tidak wajib– dalam seluruh keadaan, baik 
sebelum shalat ataupun selainnya. Dan ini merupakan pendapat yang rajih 
yang dipegangi oleh penulis. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama, 
menyelisihi sebagian ulama yang memandang wajibnya perkara ini. Ibnu 
Qudamah Al-Maqdisi t mengatakan: “Kami tidak mengetahui ada seorang pun 
yang berpendapat bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud 
Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak wa Sunnatul 
Wudhu).
Dalil tidak wajibnya bersiwak ini diisyaratkan dalam hadits:
“Seandainya aku tidak memberati umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i t mengata-kan: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa 
siwak tidaklah wajib. Seseorang diberi pilihan (untuk melakukan atau 
meninggal-kannya, pent.). Karena, jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah
 n akan memerin-tahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun tidak.” 
(Al-Umm, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak).
Kekhawatiran memberatkan umatnya merupakan sebab yang mencegah Nabi n 
untuk mewajibkan bersiwak ini. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 
1/195)
Bersiwak merupakan ibadah yang tidak banyak membebani, sehingga 
sepatutnya seorang muslim bersemangat melakukannya dan tidak 
meninggalkannya. Di samping itu, banyak faedah yang didapatkan berupa 
kebersihan, kesehatan, menghilangkan aroma yang tak sedap, mewangikan 
mulut, memperoleh pahala dan mengikuti Nabi n. (Taisirul ‘Allam, 1/62)
Banyak sekali hadits yang berbicara tentang siwak sehingga Ibnul 
Mulaqqin t dalam Al-Badrul Munir mengatakan: “Telah disebutkan dalam 
masalah siwak lebih dari seratus hadits.” (Subulus Salam, 1/63)
Karena perkara bersiwak ini disenangi oleh Rasul kita yang mulia n dan 
tidak pernah beliau tinggalkan sampai pun menjelang ajalnya, sementara 
kita diperintah dalam Al-Qur`an untuk menjadikan beliau sebagai qudwah, 
suri teladan, maka pemba-hasan tentang siwak tidak patut kita abai-kan. 
Ditambah lagi, bersiwak ini termasuk sunnah wudhu dan termasuk thaharah 
yang kita dianjurkan untuk melakukannya. Semoga apa yang kami tuliskan 
ini menjadi ilmu yang bermanfaat dan mudah-mudahan dapat diamalkan oleh 
kita semua. Amin!
Kesenangan Rasulullah n Bersiwak
Rasulullah n demikian senang bersiwak. Beliau tidak melupakannya sampai 
pun pada detik-detik menjelang beliau dijemput kembali ke sisi Allah I. 
‘Aisyah x mengabarkan:
‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq c masuk menemui Nabi n dalam 
keadaan dadaku menjadi tempat sandaran beliau. ‘Abdurrahman membawa 
siwak yang masih basah yang dipakainya untuk bersiwak. Nabi n mengangkat
 pandangan mata beliau, melihat siwak itu. Aku pun mengambil siwak 
tersebut lalu mematahkan ujungnya (dengan ujung gigi) serta 
memperbaikinya dan membersihkannya, kemudian aku berikan pada Nabi n. 
Beliau kemudian bersiwak dengannya. Aku tidak pernah melihat Rasulullah n
 bersiwak sebagus yang kulihat kali itu. Tidak berapa lama Rasulullah n 
selesai dari bersiwak, beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian
 berkata: “Pada teman-teman yang tinggi (Ar-Rafiqil A‘la)1.” Lalu beliau
 pun wafat. (HR. Al-Bukhari no. 890, 4438)
Dalam satu lafadz, ‘Aisyah x mengatakan:
Aku melihat beliau memandangi siwak tersebut dan aku tahu beliau 
menyukai bersiwak. Maka aku katakan: “Apakah aku boleh mengambilkannya 
untukmu?” Beliau mengisyaratkan “iya”, dengan kepala beliau (mengangguk 
untuk mengiyakan/sebagai persetujuan). (HR. Al-Bukhari no. 4449)2
Bersiwak Membersihkan Mulut dan Diridhai Allah I
‘Aisyah x mengabarkan bahwa Nabi n bersabda:
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad, 
6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Diriwayatkan pula oleh
 Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan 
Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381,
 Irwa`ul Ghalil no. 65)
Ibnu ‘Umar c juga mengabarkan hal yang senada dari Nabi n:
“Seharusnya bagi kalian untuk ber-siwak. Karena dengan bersiwak akan 
membaikkan (membersihkan) mulut, diridhai oleh Ar-Rabb tabaraka wa 
ta’ala.” (HR. Ahmad 2/109, lihat Ash-Shahihah no. 2517)
Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Bersiwak adalah sunnah (mustahab) dalam seluruh waktu. Namun ada lima 
waktu yang lebih ditekankan bagi kita untuk melakukannya (Al-Minhaj 
1/135, Al-Majmu‘ 1/328, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/225). 
Waktu-waktu tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Setiap akan shalat dan wudhu
Abu Hurairah z mengabarkan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan 
mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad 2/400, Malik 
dalam Al-Muwaththa` no. 143 dengan Syarh Az-Zarqani. Disebutkan pula 
oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan 
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 70)
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 887) dan Al-Imam Muslim dalam 
Shahih-nya (no. 588) juga mengeluarkan hadits di atas, hanya saja lafadz
 akhirnya adalah:(setiap kali hendak mengerjakan shalat). Selengkapnya 
adalah:
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan 
mereka untuk bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan 
shalat.”
Permasalahan disunnahkannya bersi-wak ketika hendak shalat dan berwudhu 
ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat. Di antaranya Abu Hurairah, Zaid
 bin Khalid, ‘Ali bin Abi Thalib, Al-’Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu 
‘Umar, Abdullah bin Hanzhalah, dan selain mereka g. (Sunan At-Tirmidzi, 
kitab Ath-Thaharah, bab Maa Ja’a fis Siwak)
Ibnu Daqiqil ‘Ied t berkata: “Rahasia dianjurkannya kita bersiwak saat 
hendak shalat adalah kita diperintahkan dalam setiap keadaan taqarrub 
(mendekat-kan) diri kepada Allah U untuk berada dalam kesempurnaan dan 
kebersihan, dalam rangka menampakkan kemuliaan ibadah.”
Ada pula yang berpendapat bahwa perkaranya berkaitan dengan malaikat. 
Karena malaikat akan terganggu dengan aroma tidak sedap yang keluar dari
 mulut seseorang. (Ihkamul Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
2.    Ketika masuk rumah
Syuraih bin Hani` pernah bertanya kepada ‘Aisyah x:
“Apa yang mulai Nabi n lakukan apabila beliau masuk rumah?” Aisyah 
menjawab: ‘Beliau mulai dengan bersiwak’.” (HR. Muslim no. 589)
3.    Saat bangun tidur di waktu malam
Hudzaifah ibnul Yaman z berkata:
“Adalah Rasulullah n apabila bangun di waktu malam beliau menggosok 
mulutnya dengan siwak.” (HR. Al-Bukhari no. 245, 889, 1136 dan Muslim 
no. 592, 594)
Ibnu ‘Umar c mengabarkan:
“Rasulullah n tidaklah tidur melainkan siwak berada di sisi beliau. 
Bila terbangun dari tidur, beliau mulai dengan bersiwak.” (HR. Ahmad 
2/117, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503)
Alasan disenanginya bersiwak pada saat seperti ini, kata Al-Imam Ibnu 
Daqiqil ‘Ied t, adalah karena tidur menyebabkan berubahnya bau mulut. 
Sedangkan siwak merupakan alat untuk membersihkan mulut. Sehingga 
disunnahkan bersiwak tatkala terjadi perubahan bau mulut. (Ihkamul 
Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
Dalam hal ini sama saja, baik bangunnya untuk mengerjakan shalat atau tidak. ‘Auf bin Malik z mengabarkan:
“Aku pernah bangkit bersama Rasulullah n lalu beliau mulai bersiwak. 
Setelah itu beliau berwudhu. Kemudian beliau bangkit untuk mengerjakan 
shalat dan aku pun bangkit bersama beliau…” (HR. Ahmad 6/24, dihasankan 
Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih 1/503,504)
4.    Ketika hendak membaca Al-Qur`an
Dengan dalil sabda Rasulullah n:
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb.” (HR. Ahmad 
6/47,62, 124, 238, An-Nasa`i no. 5 dan selainnya. Al-Imam Al-Bukhari 
meriwayat-kannya dalam Shahih-nya secara mu‘allaq. Dishahihkan 
Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Misykat no. 381,
 Irwa`ul Ghalil no. 65)
Sementara membaca Al-Qur`an tentunya menggunakan mulut.
5.    Saat bau mulut berubah
Perubahan bau mulut bisa terjadi karena beberapa hal. Di antaranya: 
karena tidak makan dan minum, karena memakan makanan yang memiliki aroma
 menusuk/tidak sedap, diam yang lama/tidak membuka mulut untuk 
berbicara, banyak berbicara dan bisa juga karena lapar yang sangat, 
demikian pula bangun dari tidur. (Al-Hawil Kabir 1/85, Al-Minhaj, 1/135)
Bersungguh-sungguh dalam Bersiwak
Ketika seseorang bersiwak, hendaklah ia melakukannya dengan 
sungguh-sungguh, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah n. Abu Musa 
Al-Asy‘ari z menceritakan:
“Aku pernah mendatangi Nabi n, ketika itu beliau sedang bersiwak 
dengan siwak basah. Ujung siwak itu di atas lidah beliau dan beliau 
mengatakan “o’, o’3″ sedangkan siwak di dalam mulut beliau, seakan-akan 
beliau hendak muntah.” (HR. Al-Bukhari no. 244 dan Muslim no. 591)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah n bersungguh-sungguh dalam 
bersiwak, sampai-sampai hendak muntah karenanya. Selain itu, menunjukkan
 disenanginya bersiwak menggunakan siwak yang basah sebagaimana dalam 
hadits Ummul Mukminin ‘Aisyah x yang telah lewat  ten-tang bersiwaknya 
Rasulullah n menjelang wafatnya. Di samping itu, hadits ini menunjukkan 
bahwa selain digunakan untuk membersihkan gigi, siwak dapat pula 
digunakan untuk membersihkan lidah. (Fathul Bari 1/463, Ihkamul Ahkam, 
kitab Ath-Thaharah, bab As-Siwak)
Cara Bersiwak
Kata Al-Imam Al-Mawardi t, disenangi menggunakan siwak secara melintang 
ketika menggosok permukaan gigi dan bagian dalamnya. Dan siwak 
dijalankan di atas ujung-ujung gigi dan pangkal gigi geraham agar 
semuanya bersih dari kotoran warna kuning dan perubahan bau yang ada. 
Dijalankan pula di atas langit-langit dengan perlahan untuk 
menghilangkan bau yang ada. (Al-Hawil Kabir, 1/85)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t mengatakan tentang permasalahan cara 
menggunakan siwak, apakah memanjang atau melintang: “Memungkinkan untuk 
dikatakan: cara penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh 
keadaan. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak dengan memanjang, maka 
dilakukan dengan memanjang. Apabila keadaan menuntut untuk bersiwak 
dengan melintang, maka dilakukan dengan melintang. Karena tidak adanya 
sunnah yang jelas dalam hal ini.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/105)
Bersiwak dengan Tangan Kanan atau Tangan Kiri?
Manakah yang lebih utama bersiwak dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri?
Zainuddin Abul Fadhl Abdurrahim bin Al-Husain Al-‘Iraqi t berkata: 
“Sebagian orang belakangan dari kalangan Hanabilah yang pernah aku lihat
 menyebutkan bahwa ia bersiwak dengan tangan kanannya. Karena terdapat 
dalam sebagian jalan hadits ‘Aisyah x yang masyhur bahwa Rasulullah n 
menyenangi mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan
 sandal, bersuci, dan bersiwak.4
Saya sendiri pernah mendengar dari sebagian guru kami dari kalangan 
Syafi’iyyah bahwa perkaranya dibangun di atas permasalahan apakah siwak 
itu termasuk bab tath-hir (pensucian) dan tathyib (mewangi-wangikan), 
atau termasuk bab menghilangkan kotoran? Bila kita menganggapnya 
termasuk bab tath-hir dan tathyib maka disenangi menggunakan siwak 
dengan tangan kanan. Namun bila kita menganggapnya termasuk bab 
menghilang-kan kotoran, maka disenangi menggunakan-nya dengan tangan 
kiri. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah x yang menyatakan bahwa tangan 
Rasulullah n yang kanan beliau gunakan untuk bersuci dan untuk makan, 
sedangkan tangan kiri beliau gunakan untuk cebok dan untuk perkara yang 
bersentuhan dengan kotoran. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan
 sanad yang shahih.5 Abu Dawud meriwayatkan pula dari hadits Hafshah 
bintu ‘Umar c:
“Beliau menggunakan tangan kanan beliau untuk makannya, minumnya dan 
berpakaiannya. Sedangkan tangan kiri beliau gunakan untuk selain itu.”6
Namun sebenarnya dalil yang dijadi-kan sandaran oleh kalangan Hanabilah 
tersebut7 tidaklah mendukung pendapatnya (yaitu bersiwak menggunakan 
tangan kanan). Karena yang dimaukan dengan hadits tersebut adalah 
memulai bagian/belahan kanan dalam bersisir, memulai kaki kanan dalam 
memakai sandal, memulai dengan anggota kanan dalam bersuci/wudhu, 
memulai dengan sisi yang kanan dari mulut dalam bersiwak sebagaimana 
telah lewat. Adapun bila dinyatakan Rasulullah n menggunakan tangan 
kanan-nya untuk melakukan hal itu, maka hal ini butuh penukilan 
(riwayat). Yang dzahir, bersiwak termasuk bab menghilangkan kotoran 
seba-gaimana menghilangkan ingus dan semisal-nya, maka dilakukan dengan 
tangan kiri.
Abul ‘Abbas Al-Qurthubi dari kalangan Malikiyyah secara jelas menyatakan
 pendapat ini. Beliau berkata dalam Al-Mufhim menghikayatkan dari 
Al-Imam Malik: “Tidak boleh bersiwak dalam masjid karena bersiwak 
termasuk menghilangkan kotoran. Wallahu a‘lam.” (Tharhut Tatsrib 1/233)
Namun larangan bersiwak dalam masjid ini tidak ada dalilnya, sehingga 
boleh dilakukan di dalam maupun di luar masjid bila memang diperlukan, 
berdasarkan keumuman hadits:
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan 
mereka untuk bersiwak setiap kali setiap kali hendak mengerjakan 
shalat.”
Namun, sepantasnya seseorang tidak berlebih-lebihan dalam melakukannya, 
hingga sampai pada tingkat hendak muntah padahal berada di masjid. 
Karena khawatir dia akan muntah atau mengeluarkan darah sehingga 
mengotori masjid. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah 
wal Ifta`, no. 2432, 5/128)
Ibnu Qudamah t menyatakan disenanginya tayammun (mendahulukan bagian 
yang kanan) dalam bersiwak dan disenangi mencuci siwak dengan air untuk 
menghilangkan kotoran yang mungkin menempel padanya. Sebagaimana ‘Aisyah
 x mengabarkan:
“Nabiyullah n pernah bersiwak, lalu memberiku siwak tersebut untuk 
kucuci. Lalu aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian mencucinya, 
setelahnya menye-rahkannya kepada beliau8.” (HR. Abu Dawud no. 52). 
(Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Al-Istiyak ‘alal Asnan wal Lisan)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Ulama berbeda pendapat, apakah 
bersiwak dilakukan dengan tangan kanan atau tangan kiri. Sebagian mereka
 menga-takan: dengan tangan kanan, karena siwak itu sunnah. Sementara 
sunnah merupakan ketaatan dan amalan qurbah (mendekatkan diri) kepada 
Allah I. Dengan demikian bersiwak tidak dilakukan dengan tangan kiri, 
karena tangan kiri itu digunakan untuk meng-hilangkan kotoran, 
berdasarkan kaidah bahwa tangan kiri digunakan untuk kotoran sedangkan 
tangan kanan untuk yang selainnya. Apabila siwak ini dianggap ibadah 
maka asalnya dilakukan dengan tangan kanan.
Ulama yang lain mengatakan: ‘Bersiwak menggunakan tangan kiri lebih 
utama.’ Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab ini (Hanabilah). Karena 
siwak itu untuk menghilangkan kotoran, sedangkan menghilangkan kotoran 
dilakukan dengan tangan kiri seperti halnya istinja` (cebok) dan 
istijmar (bersuci dengan menggunakan batu).
Sebagian Malikiyyah berkata: “Dalam hal ini dirinci. Bila ia bersiwak 
untuk mensucikan mulut sebagaimana bila ia bangun dari tidurnya atau 
menghilangkan makanan yang tersisa maka dia bersiwak dengan tangan kiri,
 karena berkaitan dengan menghilangkan kotoran. Bila ia bersiwak untuk 
memperoleh amalan sunnah maka dilakukan dengan tangan kanan, karena ia 
bersiwak dengan tujuan untuk melakukan qurbah (mendekatkan diri pada 
Allah), sebagaimana bila ia baru saja berwudhu dan ia bersiwak ketika 
wudhu, kemudian ia hendak mengerjakan shalat. Maka ia bersiwak untuk 
memperoleh pahala amalan sunnah.
(Namun yang benar, pent.) perkaranya lapang dan tidak dibatasi, karena 
tidak adanya nash yang jelas yang menetapkan-nya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 
1/105)
Boleh Bersiwak saat Berpuasa
Dalam hal ini ada hadits dari ‘Amir bin Rabi’ah z:
“Aku melihat Rasulullah n dalam beberapa kali yang tidak bisa aku hitung, beliau bersiwak dalam keadaan beliau puasa.”
Namun hadits yang diriwayatkan oleh Ar-Tirmidzi, Abu Dawud dan 
lain-lainnya ini dha’if/lemah, karena adanya perawi yang lemah 
sebagaimana dijelaskan dalam Irwa`ul Ghalil (hadits no. 68). Karena 
dha’if, berarti hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran/hujjah.
Sehingga permasalahan bolehnya bersiwak ketika sedang puasa, kembali 
kepada dalil-dalil yang umum. Seperti hadits yang berisi anjuran untuk 
bersiwak ketika hendak shalat dan saat berwudhu.
Al-Imam At-Tirmidzi t menyata-kan: “Al-Imam Asy-Syafi’i berpandangan 
bahwa tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak pada awal 
dan akhir siang. Sementara Al-Imam Ahmad dan Ishaq memakruhkannya bila 
dilakukan di akhir siang.” (Sunan At-Tirmidzi, kitab Ash-Shaum, bab Ma 
Ja’a fis Siwak lish-Sha`im)
Di antara yang berpendapat disun-nahkannya bersiwak secara mutlak, saat 
puasa ataupun tidak, adalah Abu Hanifah dan Malik. Pendapat ini yang 
dipilih oleh Ibnu Taimiyyah. Dan pendapat ini yang penulis rajihkan. 
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Yang benar adalah disunnahkan siwak bagi 
orang yang puasa, baik di awal siang ataupun di akhirnya. Ini merupakan 
madzhab jumhur.” (Nailul Authar, 1/159)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Isyarat dari Nabi n kepada firman Allah I:
“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu bersama 
orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan 
para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itu adalah 
sebaik-baik teman.” (An-Nisa`: 69)
2 Hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
-    Disenanginya menggunakan siwak yang basah
-    Sebelum digunakan sebaiknya siwak diperbaiki/dibaguskan terlebih dahulu
-    Boleh menggunakan siwak milik orang lain setelah dibersihkan
-    Boleh bersiwak di hadapan orang lain, yakni bersiwak bukan perkara 
yang harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Seorang pemimpin/tokoh 
tidaklah tercela bila melakukannya di hadapan orang yang 
dipimpinnya/bawahannya sebagaimana Rasulullah n sebagai seorang 
rasul/imam dan pimpinan umat melakukannya di hadapan ‘Abdurrahman bin 
Abi Bakar Ash-Shiddiq c (Ihkamul Ahkam, kitab Thaharah, bab As-Siwak, 
Fathul Bari 1/464 )
3 Yakni mengeluarkan suara seperti orang yang hendak muntah, karena bersungguh-sungguhnya beliau bersiwak. (Fathul Bari, 1/463)
4 Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, namun tanpa 
penyebutan bersiwak, tambahan ini ada dalam riwayat Abu Dawud, no. 4140
5 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih, 1/348
6 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ Ash-Shaghir, 2/4912
7Yaitu hadits yang menyatakan: Rasulullah n menyenangi mendahulukan 
yang kanan ketika menyisir rambutnya, mengenakan sandal, bersucinya, dan
 bersiwaknya.
8 Dalam ‘Aunul Ma‘bud Syarah Abi Dawud disebutkan: “Setelah beliau n 
menggunakan siwak untuk membersihkan mulutnya, beliau menyerahkan kepada
 ‘Aisyah untuk dihilangkan kotoran yang mungkin menempel pada siwak 
tersebut agar tabiat itu tidak merasa jijik untuk menggunakannya pada 
kali yang lain. ‘Aisyah pun menyatakan: “Aku mencucinya”, yakni mencuci 
siwak tersebut untuk mengharumkan dan membersihkannya. “Aku 
menggunakannya”, kata ‘Aisyah, yakni memakai siwak tersebut pada mulutku
sebelum dicuci agar mendapatkan barakah mulut Rasulullah n”. (Kitab 
Ath-Thaharah, bab Ghaslus Siwak)
by: http://asysyariah.com/keutamaan-bersiwak.html
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar